Rokok Haram Atau Makruh
Beberapa Istilah Lain Hukum Sunnah
Ada beberapa ungkapan lain untuk amalan yang hukumnya sunnah, di antaranya adalah mustahab, tathawwu’, naflun dan lain-lain. Semua istilah ini menunjukkan makna yang sama, yaitu amalan tersebut dianjurkan.
Berikut hukum-hukum Islam:
Pengertian wajib secara bahasa adalah saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa.
Hukum wajib dibagi menjadi 4 yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban bagi orang melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran/kadar pelaksanaannya, dan kandungan kewajiban perintahnya.
Kewajiban dari waktu pelaksanaannya:
a. Wajib muthlaq yakni wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya seperti meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.
b. Wajib muaqqad yakni wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang ditentukan. Wajib muaqqad terbagi lagi dalam:
-wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya.- wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan seperti puasa Ramadhan.- Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq, misalnya ibadah haji.
Kewajiban bagi orang yang melaksanakannya:
-Wajib aini: kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan orang lain misalnya puasa dan sholat.-Wajib kafa'i/kifayah: kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya maka gugur kewajibannya seperti sholat jenazah.
Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:
-Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan seperti zakat.-Wajib ghairu muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya seperti menafkahi kerabat.
Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:
-Wajib Mu'ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidka ada pilihan lain seperti membayar zakat dan sholat lima waktu.
-Wajib mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
Prioritas dalam Dakwah dan Pengingkaran Suatu Kesalahan
Pengetahuan tentang lima hukum ini juga sangat membantu seorang juru dakwah dalam proses berdakwah. Terutama, ketika dia hendak menentukan mana yang lebih diprioritaskan dalam dakwahnya. Yaitu, ketika terjadi pertentangan antara sesuatu yang hukumnya sunnah dengan sesuatu yang hukumnya wajib.
Sebuah kesalahan, ketika seorang juru dakwah dihadapkan antara dua pilihan yang harus dipilih, yaitu sesuatu yang hukumnya wajib dan sesuatu yang hukumnya sunnah. Namun, ia lebih mementingkan yang sunnah daripada yang jelas-jelas wajib menurut ulama ahli fiqih.
Begitu juga dalam mengingkari atau menegur. Tentunya, teguran atau pengingkaran terhadap orang yang meninggalkan amalan yang sunnah tidak sekeras teguran kepada orang yang meninggalkan amalan yang wajib.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, di dalam kitab “Raudhatun Nazhir” mengatakan, bahwa wajib adalah:
مَا تُوُعِّدَ بِالعِقابِ على تَرْكِهِ
“Perbuatan yang ada ancaman hukumannya karena meninggalkannya.”
Atau menurut pendapat yang lain, wajib adalah:
مَا يُعاقَبُ تَارِكُهُ
“Orang yang meninggalkannya berhak mendapatkan hukuman.”
Yang dimaksud adalah, jika seorang hamba meninggalkannya dengan sengaja, padahal dia mampu melaksanakannya.
Contoh Penggunaan Istilah Makruh
Syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi” mengatakan:
“Makruh salat di tempat yang terdapat gambar-gambar …”
Jakarta (ANTARA) - Sebagian Muslim, terutama anak-anak dan remaja, mungkin menghabiskan waktu dengan memainkan PUBG atau Mobile Legends atau games yang lain sembari menunggu waktu berbuka puasa. Tapi, tahukah Anda apa hukumnya bermain games saat menjalankan ibadah puasa?
Berikut tanya jawab dengan Ustadz Mahbub Maafi dari PBNU mengenai hukum bermain games, termasuk saat Anda menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
Bolehkan kita memainkan games saat menjalankan ibadah puasa? Mengingat tidak sedikit games yang berkonten kekerasan, seperti perang, dan juga romantisme, bahkan seksualitas. Bagaimana hukumnya dalam Islam?
Pertama-tama yang perlu diketahui adalah hukum bermain games. Pada dasarnya bermain games yang mengandung nilai positif dan tidak ditemukan unsur judi itu diperbolehkan dengan catatan tidak sampai melalaikan kewajibannya sebagai Muslim.
Hal ini mengandaikan bahwa permainan games itu memiliki dampak sejauh mana bagi yang memainkannya. Jika permainan games yang dilakukan memberikan dampak yang tidak semestinya seperti malah membuat pelakunya malas dan mengurangi etos kerjanya maka itu bisa menjadi makruh.
Bahkan, memainkan games itu bisa naik menjadi haram jika menyebabkan pelakunya terjerumus melakukan perbuatan yang diharamkan. Hal ini seperti status hukum permainan catur yang sudah banyak dibicarakan para ulama. Misalnya seperti keterangan yang terdapat di dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji sebagai berikut:
“Di antara permainan ini adalah catur, yaitu sebuah permainan olah batin, akal dan pikiran. Tidak diragukan lagi bahwa catur memiliki manfaat untuk hati dan akal. Namun, bila seseorang tersibukkan dengan permainan tersebut sampai melampaui manfaat yang semestinya, maka hukumnya makruh. Dan jika berdampak sampai kepada menggugurkan sebagian kewajiban, maka hukumnya menjadi haram.” (Mushtafa Ahmad Khan dkk, al-Fiqh al-Manhaji, juz. VIII h. 166).
Lantas bagaimana jika kita bermain games saat menjalankan ibadah puasa? Hukum bermain games ketika sedang menjalankan ibadah puasa adalah boleh sepanjang hal tersebut tidak menimbulkan hal-hal yang diharamkan.
Namun mengingat bermain games acapkali membuat pelakunya menjadi pemalas dan turun etos kerjanya, maka kami cenderung untuk memakruhkan bermain games saat menjalankan ibadah puasa.
Bahkan bisa meningkat menjadi haram jika permainan games itu mengandung konten romantisme dan seksualitas. Karena konten-konten tersebut pada umumnya bisa menjerumuskan kepada sesuatu yang diharamkan. Dan sesuatu yang menghantarkan kepada sesuatu yang diharamkan maka sesuatu itu menjadi haram.
Lalu, games yang seperti apa yang boleh dimainkan ketika menjalankan ibadah puasa?
Yang paling aman adalah semestinya kita menghindari bermain games saat menjalankan ibadah puasa. Apalagi games yang mengandung konten negatif. Isilah hari-hari puasa kita dengan berbagai amaliyah yang mengandung nilai ibadah seperti memperbanyak dzikir, membaca Al-Quran, dan i’tikaf karena akan bisa menambah kesempurnaan ibadah puasa.
Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan bagi orang yang menjalankan ibadah puasa adalah menjaga mata dari melihat sesuatu yang diharamkan, menjaga lisan dari perkataan kotor, dusta dan menggunjing, serta menjaga tangan dari berbuat kemaksiatan. Namun, bila kita tidak bisa menjaga semua itu dari hal-hal yang diharamkan, maka niscaya yang kita dapatkan dari puasa hanyalah lapar.
Demikian jawaban singkat ini. Semoga bermanfaat dan kita bukan termasuk di dalam barisan orang-orang berpuasa yang hanya mendapatkan lapar sebagaimana disebut dalam hadits berikut ini:
“Banyak sekali orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar.” (HR. Ahmad)
Baca juga: Anak minta main PUBG? Begini caranya beri pemahaman
Baca juga: Informasi Kementerian Kominfo blokir Game PUBG, ini penjelasannya
Baca juga: Asosiasi: eSports game strategi, bukan kekerasan
Pewarta: -Editor: Ida Nurcahyani Copyright © ANTARA 2019
Dalam Islam, tindakan kita harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ada hukum-hukum Islam yang berlaku untuk menuntun manusia sesuai dengan tindakan yang sesuai.
Hukum-hukum itu seperti wajib, sunnah, makruh, dan haram. Dalam buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan, disebutkan hukum-hukum tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh Penggunaan Istilah Sunnah
Syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitabnya “Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi”, mengatakan:
“Sunnah-sunnah salat ini tidak harus dilakukan ketika salat, akan tetapi, siapa yang melakukan semua atau melakukan sebagiannya, dia mendapat tambahan pahala. Dan siapa yang tidak melakukan semua atau tidak melakukan sebagiannya, dia tidak berdosa, sebagaimana hal ini berlaku untuk semua amalan yang hukumnya sunnah.”
Ketika menjelaskan tentang sutrah, yaitu suatu benda yang kita letakkan di depan kita saat salat yang berfungsi sebagai pembatas, syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Meletakkan sutrah adalah sunnah, bagi orang yang salat sendirian dan bagi seorang imam.” Kemudian syaikh mengatakan lagi, “Dan meletakkan sutrah bukanlah hal yang wajib.”
Dalam pembahasan salat Jumat, syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Mustahab (dianjurkan) untuk segera pergi ke masjid di Hari Jumat …”
Amalan Sunnah Tidak untuk Diremehkan
Suatu amalan yang hukumnya sunnah tidak bisa disamakan dengan amalan yang wajib dari sisi keharusan melakukannya. Meskipun demikian bukan berarti kita meremehkan amalan sunnah.
Terlebih lagi, amalan yang hukumnya sunnah ini bertingkat-tingkat. Ada amalan sunnah yang terkadang tidak dilakukan Nabi. Ada pula amalan sunnah yang tidak pernah ditinggalkan Nabi. Untuk amalan sunnah yang seperti ini, tentu penekanan yang dilakukan sangat kuat, dan sebisa mungkin kita juga mengamalkannya.
Membantu Memahami Kitab Fiqih
Meskipun, pada asalnya pembahasan ini ada di dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih, kenyataannya di beberapa kitab fiqih kontemporer juga dicantumkan pembahasan ini oleh penulisnya.
Misalnya kitab “Al-Fiqhul Manhaji”, salah satu kitab fiqih kontemporer madzhab Syafi’i. Begitu juga kitab fiqih “Manhajus Salikin”, Syaikh As-Sa’di menyantumkan pembahasan ini di bagian pengantar kitab tersebut.
Ini mengisyaratkan, bahwa untuk mengambil faedah dari kitab fiqih, kita membutuhkan penjelasan tentang istilah-istilah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Contoh Penggunaan Istilah Wajib:
Di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi” syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Wajib bagi orang yang puasa menjauhi dusta, ghibah dan mencela …”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, di dalam kitab “Raudhatun Nazhir” mengatakan, bahwa mandub adalah:
مَا فِي فِعْلِه ثَوَابٌ وَ لَا عِقَابَ فِي تَرْكِهِ
“Perbuatan yang ada pahalanya jika dilakukan, dan tidak ada hukumannya jika ditinggalkan.”
Mandub atau Sunnah
Mandub secara bahasa artinya mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Beberapa literatur atau pendapat ulama menyebutkan, mandub sama dengan sunnah.
Hukum Islam sunnah atau mandub dalam fiqh adalah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan karena perbuatan yang dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan untuk dilakukan. Orang yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran tetapi bila tuntutan tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa-apa.
Hukum sunnah dilihat dari tuntutan melakukannya yakni:
-Sunnah muakkad: perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi di samping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu misalnya sholat witir.
-Sunnah ghairu mu'akad yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian seperti sunnah 4 rakat sebelum dzuhur dan sebelum ashar.
Sedangkan hukum sunnah jika dilihat dari kemungkinan untuk meninggalkannya terbagi menjadi:
-Sunnah hadyu: perbuatan yang dituntut melakukannya kareba begitu besar faidah yang didapat dan orang yang meninggalkannya tercela, seperti azan, sholat berjamaah, sholat hari raya.
-Sunnah zaidah: sunnah yang apabila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan baik tapi bila ditinggalkan tidak diberi sanksi apapun. Misalnya mengikuti yang biasa dilakukan nabi sehari-hari seperti makan, minum, dan tidur.
-Sunnah nafal: suatu perbuatan yang dituntut tambahan bagi perbuatan wajib seperti sholat tahajud.
Makruh secara bahasa artinya mubghadh (yang dibenci). Jumhur ulama mendefinisikan makruh adalah larangan terhadap suatu perbuatan tetapi larangan tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.
Makruh dibagi 2 yakni:
-Makruh tahrim yakni sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti contohnya larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki.
-makruh tanzih yakni sesuatu yang diajurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, tetapi larangan tidak bersifat pasti contohnya memakan daging kuda saat sangat butuh waktu perang.
Hukum Islam berikutnya yakni mubah. Mubah adalah titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Bila mengerjakan tidak diberi ganjaran.
Muharram secara bahasa artinya mamnu' (yang dilarang). Menurut madzah hanafi, hukum haram harus didasarkan dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram, sebagaimana QS An Nahl ayat 116.
Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi:-Al Muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia. Contoh makan bangkai, minum khamr, berzina.-Al Muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena essensinya tetapi karena kondisi eksternal seperti jual beli barang secara riba.
Islam mengatur seluruh urusan manusia dengan sangat lengkap dan sempurna. Dari mulai kita bangun tidur sampai kembali tidur di penghujung hari, Allah telah memberikan dan menjelaskan bagaimana cara manusia menjalani harinya. Dimulai dari bangun tidur, menyucikan diri, ibadah, memenuhi hak tubuh (makan, minum, istirahat), bekerja, belajar, bersilaturahim dengan sesama, berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, muda, atau sebaya, berwisata, berniaga, mengaji, dan banyak lagi aktivitas manusia lainnya sampai kita kembali tidur, semua telah ada aturan mainnya. Aturan-aturan main tersebut sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum yang berlaku atas suatu perbuatan.
Di dalam Islam, kita mengenal ada enam hukum yang berdampak pada boleh atau tidaknya kita mengerjakan sebuah perbuatan. Keenam hukum tersebut adalah waji, sunah, halal, mubah, makruh, dan haram. Melalui Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan sebuah perbuatan berhukum apa. Jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan, Allah menjelaskannya melalui sabda Rasulullah yang termaktub di dalam Al-Hadits. Jika di dalam Al- dan Al-Hadits juga tidak ditemukan, maka hasil dari ijtima’ ulama yang dijadikan landasan hukum sebuah perkara. Mengapa demikian? Karena zaman semakin berkembang, maka hadir pula perkara-perkara yang di zaman Rasulullah belum dikenal. Para ulama akan tetap mencari dalil utama pada Al-Qur’an dan Al-hadits karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat bahasan secara umumnya. Untuk mengetahui lebih lanjut apa pengertian dari keenam hukum dalam Islam, mari kita bahas satu persatu.
Hukum wajib biasa kita kenal dengan istilah fardhu dalam bahasa Arab. Secara istilah, wajib memiliki arti sebuah perintah yang harus dilakukan oleh setiap hamba yang jika tidak melakukannya ia akan mendapatkan dosa. Dilansir dari laman detiknews.com, hukum wajib sendiri terbagi ke dalam empat bagian, yakni wajib berdasarkan waktu pelaksanaannya, wajib berdasarkan orang yang melaksanakan perintah tersebut, ukuran dan kadar pelaksananya, serta kandungan kewajiban perintahnya.
Kewajiban berdasarkan waktu pelaksanaannya pun terbagi lagi menjadi;
-wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya. – wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan seperti puasa Ramadhan. – Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq, misalnya ibadah haji.
Kewajiban berdasarkan orang yang melaksanakannya:
Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:
a.Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan seperti zakat.
Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:
Sunah merupakan sebuah hukum yang apabila kita kerjakan maka akan mendapatkan pahala dan jika tidak mengerjakannya tidak berdosa. Sama seperti hukum wajib, sunah pun juga ada bagiannya.
Mubah atau biasa yang kita kenal dengan istilah ‘boleh’ ialah hukum dari sebuah perbuatan yang apabila tidak kita kerjakan, kita tidak memperoleh dosa dan jika kita kerjakan tak juga mendapatkan pahala. Contohnya adalah bercanda, berbelanja, makan, minum.
Secara bahasa, makruh artinya mubghod (yang dibenci). Makruh merupakan sebuah hukum menganjurkan kita untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Bila kita tidak melakukannya maka akan diganjar pahala oleh Allah. Namun, apabila kita memilih untuk melakukannya tidak berdosa.
Contoh perbuatan makruh adalah memakan makanan yang berbau menyengat, seperti jengkol, petai, bawang-bawangan mentah. Allah tak menyukai hal-hal seperti itu karena aromanya yang kuat akan menganggu orang lain pada saat berbicara sedangkan seorang Muslim selalu dituntut untuk memperhatikan penampilannya agar selalu bersih dan wangi.
Makruh terbagi menjadi dua, yaitu;
Seperti yang telah kita ketahui, haram merupakan kebalikannya dari wajib. Ketika kita melakukan sesuatu yang dilarang olehNya maka akan dihukumi dosa dan apabila kita meninggalkan larangan tersebut, maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala.
Haram sendiri juga terbagi ke dalam dua bentuk;
Itulah pengertian hukum dalam Islam serta pembagiannya. Harus selalu kita ingat, bahwa setiap perintah, anjuran, dan larangan yang Allah sampaikan kepada hambaNya mengandung hikmah yang harus kita renungkan sendiri. Percayalah, Allah hanya menginginkan kita selamat dunia akhirat. Percayalah, hanya Allah-lah sebaik-baiknya Zat yang mampu mengurusi hidup kita dengan amat sempurna.
Penulis, (Dessy Husnul Q)